IPMABAYO

Sabtu, 12 Juni 2010

Medheng; Tradisi Bawean yang terabaikan

Oleh: Ainul Yakin*

Ketika penulis pulang kampung ke Bawean banyak pemuda-pemudinya sudah enggan untuk medheng (silaturrahim) walaupun ke rumah famili terdekat dan gurunya sendiri. Hari raya yang dulu dijadikan momentum saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan, sekarang sudah terganti dengan budaya baru sepeti rekreasi ke berbagai tempat wisata Bawean.

Bawean, sebagai pulau yang basis penduduknya hampir seratus persen pemeluk agama Islam, memiliki tradisi yang disebut medheng. Dilihat dari akar sejarahnya medheng merupakan tradisi Bawean yang dihasilkan dari asimilasi antara budaya Islam dengan tradisi setempat. Pada dasarnya antara medheng dengan budaya Islam (silaturrahim) di Bawean tidak bertentangan. Maka masyarakat Bawean menjadikan tradisi medheng sebagai salah satu kegiatan ritual tahuanan.
Padanan kata medheng dalam bahasa Indonesia lebih dekat pemaknaannya dengan kata silaturrahim. Walaupun kata silaturrahim dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab, tapi kata tersebut sudah di-indonesia-kan.
Tetapi arti operasionalnya antara kata medheng dan silaturrahim memiliki arti yang sedikit berbeda. Kata siaturrahim adalah kunjung-mengkunjungi antara satu dengan yang lain. Dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terikat oleh momen tertentu. Sedangkan pengertian kata medheng dalam tradisi Bawean adalah kunjung-mengkunjungi antara satu dengan yang lain. Dan biasanya medheng dilakukan selama tujuh hari setelah hari raya, baik hari raya Idul fitri maupun Idul adha. Salah satu fungsinya untuk saling maaf-memaafan dan mempererat tali kekeluargaan serta persaudaraan. Bahkan, masyarakat Bawean pada saat medheng ada yang membawa kue dan makanan khas pada pelaksanaan hari raya. Dan hampir menjadi kewajiban bagi menantu untuk medheng kepada mertuanya.
Menurut H. Munir, salah satu tokoh sesepuh Bawean mengatakan bahwa, dulu setelah pelaksanaan hari raya, masyarakat Bawean medheng ke rumah tetangga dan familinya. Mereka memulai medheng kali pertama hari raya sampai hari ke tujuh. Hari pertama dan kedua medheng ke rumah tetangga dan famili terdekat, hari ketiga dan keempat ke rumah tetangga dan famili yang jauh baik di luar desa maupun di dalamnya. Hari kelima, keenam dan ketujuh medheng ke rumah famili yang jauh, baik famili dari jalur ayah maupun dari jalur ibu, termasuk juga ke rumah tokoh masyarakat seperti kiyai, kepala desa dan guru-guru ngaji.
Naifnya, tradisi medheng di Bawean yang dulu dilakukan selama tujuh hari setelah hari raya, sekarang dilakukan paling lama tiga hari. Bahkan kebanyakan masyarakat Bawean sekarang melakukan medheng hanya satu hari saja. Mereka medheng ke rumah sebagian tetangga dan famili terdekat. Sehingga menjadi fenomena yang tak terbantahkan bagi anak muda Bawean saat ini menjadi tidak mengenali familinya.
Ketika penulis pulang kampung ke Bawean banyak pemuda-pemudinya sudah enggan untuk medheng walaupun ke rumah famili terdekat dan gurunya sendiri. Hari raya yang dulu dijadikan momentum saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan, sekarang sudah terganti dengan budaya baru sepeti rekreasi ke berbagai tempat wisata Bawean. Dan kegiatan rekreasi ini sudah menjadi tradisi masyarakat Bawean pasca pelaksanaan hari raya.
Tujuh hari setelah pelaksanaan hari raya yang dulu digunakan medheng sekarang sudah hilang sama sekali diganti dengan budaya rekreasi. Pada hari tersebut biasanya mereka berbondong-bondong pergi ke tempat wisata. Terbukti dengan banyaknya pemuda-pemudi berpasang-pasangan ke tempat rekreasi. Masyarakat Bawean yang dulu menganggap kegiatan rekreasi sesuatu yang tabu sekarang sudah menjadi maklum.
Budaya baru ini terkesan berfoya-foya dan hedonis, seakan tidak berbeda dengan budaya barat yang jauh dari nilai-nilai budaya timur (keislaman). Budaya tersebut mampu menghapus tradisi lokal yang penuh kearifan (local wisdom) yang sudah lama mengakar dan mendarah daging di tubuh masyarakat Bawean.
Medheng dalam sudut pandang
Ada dua sudut pandang yang perlu dilakukan untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi medheng. Yaitu sudut pandang agama dan sosial.
Dalam sudut pandang agama, medheng memiliki nilai ritual sangat tinggi dalam pelaksanaan ibadah. Artinya medheng tidak hanya sebatas tradisi sebagai warisan nenek moyang yang menjadi rutinitas ritual tahunan. Tapi medheng juga merupakan perintah dan ajaran agama. Menjadi barang tentu terdapat nilai pahala bagi mereka yang melaksanakannya serta dosa/siksa bagi yang meninggalkannya.
Banyak sekali nash (al-Qur’an dan Hadist) yang memerintahkan dan menganjurkan medheng serta mengancam bagi yang meninggalkannya, yakni bagi mereka yang memutus tali hubungan persaudaraan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Muhammad ayat 22 dan 23.
Artinya; Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.

Abdul Jabbar salah satu sahabat nabi menceritakan dari sahabat Anas dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut:
“ Janganlah kalian saling memutus tali silatuttahim, saling memusuhi, saling membenci dan saling mendengki. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (sesama muslim), serta tidak halal bagi orang muslim tidak akur dengan seaudaranya lebih dati tiga hari.

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa menurut sudut pandang agama tradisi medheng (silaturrahim) merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Didalamnya banyak mengendung keistimewaan seperti hadits yang mengatakan bahwa barang siapa yang menginginkan rizkinya luas, panjang umurnya maka dianjurkan untuk menjaga medheng (silaturrahim). Begitu juga sebaliknya bagi orang yang memutus medheng (silaturrahim) adalah dosa dan mendapatkan laknat dari Allah SWT.
Sedangkan dari sudut pandang sosial, tradisi medheng merupakan warisan nenek moyang masyarakat Bawean yang sarat dengan nilai kearifan yang bijaksana (local wisdom) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi medheng di antaranya, nilai kebersamaan, kekeluargaan, kesatuan dan persatuan, solidaritas serta keagamaan. Nilai-nilai itulah seharusnya perlu dipertahankan oleh generasi anak muda Bawean dengan tetap melestarikan tradisi tersebut.
Secara sosiologis, medheng memiliki beberapa fungsi sosial. Di antaranya, pertama; sebagai alat pengendali konflik sosial. Masyarakat Bawean sebagai sebuah komunitas sosial sudah menjadi barang tentu akan adanya konlfik sosial antar individu atau antar kelompok. Maka medheng dapat dijadikan sebagai salah satu sarana/media untuk menyelesaikan konflik.
Kedua; nilai yang terkansung dalam tradisi medheng berfungsi sebagai dasar dalam melakukan tindakan sosial. Mengingat nilai-nilai yang sangat tinggi dalam tradisi medheng sebagaimana disebutkan di atas seperti kekeluargaan, kebersamaan dan seterusnya. Maka nilai-nilai tersebut seyogyanya tetap menjadi acuan dalam melakuakan tindakan sosial. Sehingga keteraturan dan keserasian sosial dalam masyarakat Bawean akan tetap terjaga.
Ketiga; medheng berfungsi sebagai alat pengawas pola tingkah laku. Dengan adanya tradisi medheng konflik sosial dalam masyarakat akan terawasi dan teratasi. Sehingga dengan tetap menjaga tradisi tersebut konflik sosial dapat diminimalisir dalam masyarakat.
Jadi, secara substansial tradisi medheng di Bawean baik dari sudut pandang agama maupun sosial memiliki nilai mulia dan bijaksana sebagai warisan nenek moyang yang patut dilestarikan. Oleh sebab itu masyarakat Bawean diharapkan mampu untuk mengembalikan tradisi medheng yang terbaikan. Akankah tradisi medheng lenyap dari bumi Bawean?.
*Mahasiswa Pasca Sarjana UNDAR Jombang dan Pemerhati Budaya Pulau.

























Nama : Ainul Yakin, S.HI.
Email : yakinainul74@yahoo.co.id
No HP : 085230753592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar