IPMABAYO

Jumat, 08 Januari 2010

Menemukan Kembali Budaya Bawean

Kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup suatu masyarakat atau warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, begitu menurut Clyde Kluckhohn dalam bukunya Mirror for Man. Kebudayaan juga merupakan suatu identitas yang melekat pada kehidupan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Kuncoro Ningrat kebudayaan sebagai hasil karya cipta dan karsa manusia yang diwariskan secara turun temurun sudah semestinya dipelihara agar tak lekang oleh perjalanan waktu.
Dalam konteks kebudayaan, masyarakat Bawean atau yang biasa dikenal dengan sebutan pulau putri juga memiliki ragam kebudayaan dan tradisi yang tak kalah menariknya dengan kebudayaan-kabudayaan lain yang ada di nusantara ini. Namun, kini seiring berjalannya waktu dan gencarnya gempuran budaya luar (popular culture) lambat laun ragam budaya dan tradisi masyarakat Bawean kian hilang.
Saat ini, mungkin yang terlihat eksis hanya tinggal beberapa kebudayaan saja, seperti kercengan, dan tradisi pencak silat. Tradisi atau kebudayaan lain yang tanpaknya kini sudah mulai jarang terlihat meliputi tradisi adhungka, mandiling, saman, anyaman tikar, kebiasaan berpantun, dan masih banyak lagi kebudayaan-kebudayaan lain yang kini sudah mulai menghilang.
Budayawan Bawean, Mohammad Nasir Abrari (50), punya keresahan tersendiri terkait dengan hilangnya beragam tradisi dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Bawean. Menurut bapak tiga anak itu, ada banyak hal yang menyebabkan hilangnya tradisi yang ada di Bawean, salah satunya karena tidak adanya sarana dan prasarana (sanggar seni) untuk pengembangan budaya. Bahkan, pemerintah kabupaten, kecamatan, kepala desa dan masyarakat Bawean sendiri pun seolah tidak mau tahu (apatis), atau dengan kata lain tidak merasa resah melihat kondisi yang ada saat ini.
Di kalangan masyarakat Bawean sendiri, Nasir biasanya dikenal sebagai sosok yang memiliki loyalitas tinggi terhadap upaya mengembangkan kreasi budaya Bawean yang saat ini kian memudar. Sekalipun dalam aktifitas sehari-harinya banyak disibukkan oleh pekerjaannya sebagai pegawai bea cukai di pelabuhan Gresik, namun hal itu tak sedikit pun mengurangi semangatnya untuk terus berupaya menumbuhkan kembali budaya Bawean yang hilang.
Saat ini, dia berencana untuk mendirikan sanggar seni sebagai sarana pengembangan budaya masyarakat Bawean. Sayangnya, sampai saat ini keinginan besarnya itu belum juga sempat terealisir karena terbentur oleh persoalan dana.
Menurut penuturan bapak yang memiliki kebiasaan bersiul itu, ke depannya, Bawean sangat potensial sebagai daerah wisata, apalagi dalam waktu dekat ini pembangunan bandara sudah selesai. “Lantas apa daya tawar kita terhadap para wisatawan kalau bukan ke khasan tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bawean?”, begitu menurut penuturan bapak yang suka berpenampilan sederhana.
“Jadi, maksud saya begini, misalnya nanti pesawat terbang sudah masuk ke Bawean, begitu para turis masuk ke Bawean, sangat terasa nuansa atau suasana khas Bawean. Artinya, di bandara sudah tidak terdengar lagi lagu-lagu disko, tapi yang terdengar adalah lagu-lagu Bawean, sofenir-nya juga buah tangan ala Bawean. selain itu, ada juga pameran hasil kreasi budaya Bawean seperti anyaman tikar. Alangkah eloknya lagi kalau dibuat jadwal, contoh hari ini PKK dari desa A yang mengisi acara khas budaya Bawean ketika menyambut kedatang para wisatawan, besoknya lagi desa B. Dengan demikian, bagitu mereka masuk ke Bawean nuansa khas Bawean benar-banar terasa, kayak di Bali itu lah”, kata Nasir mencontohkan.
Namun, untuk menumbuhkan dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan Bawean dibutuhkan kerja sama (kolektif), karna menurut budayawan Bawean tersebut hal itu sangat sulit bisa terwujud (terealisir) tanpa dibarengi oleh adanya kerja sama yang baik, dan dibutuhkan kerja keras. “Orang Bawean itu punya kebiasaan ingin hasil instan (sekarang juga), padahal kalau kita menekuni apa saja asal dengan tekun, maka akan menbuahkan hasil yang baik.
“Saat ini, kenapa masyarakat Bawean lebih senang nonton TV dari pada main dhungka, salah satu faktornya adalah karna tidak adanya sarana pengembangan budaya. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengangkat kembali budaya dhungka, perlu diadakan festifal dhungka secara terus menerus setiap berapa bulan sekali di tingkat pedukuhan, kemudian yang terbaik dilombakan di tingkat desa, lalu dari tingkat desa kemudian ke tingkat kecamatan. Bila agenda seperti itu terus berlangsung, maka lambat laun tradisi dhungka akan diminati lagi oleh masyarakat Bawean,” begitu Nasir mengungkapkan.”
Selain karena tidak adanya sanggar budaya sebagai sarana untuk mengembangkan budaya Bawean, hal lain yang penting untuk diperhatikan terkait dengan keberlangsungan budaya Bawean yakni soal regenerasi (penerus). Saat ini, tak banyak masyarakat Bawean khususnya kalangan muda yang mengerti tentang kebudayaan Bawean. Karena kalau hal itu terus menerus dibiarkan tanpa ada keberlangsungan proses regenerasi, maka tinggal menunggu waktu saja kebudayaan Bawean hanya akan tinggal nama dan kenangan. “Misalnya pendekar Husaini (guru pencak silat) mati, lalu siapa yang akan meneruskan kalau bukan generasi muda. Makanya, saya sekarang amat berharap sekali adanya kalangan muda penerus tradisi Bawean, seperti baca berzanji ketika Maulid Nabi, atau yang biasanya diadakan di pondok pesantren dan di langgar-langgar (surau).
Sekalipun pada dasarnya masyarakat Bawean berasal dari beberapa kepulauan yang ada di nusantara ini, dan bisa dipastikan kebudayaan yang ada di Bawean pun juga bukan murni kreasi asli Bawean, namun menurut Nasir, kebudayaan itu sudah berlangsung lama ada di Bawean, sehingga pada akhirnya proses inkulturasi tersebut melahirkan beragam budaya dan tradisi bersama yang keberadaannya mesti harus dijaga dan dikembangkan. Karena bagaimana pun itu merupakan suatu identitas kita sebagai masyarakat Bawean.
“Jadi, yang jelas budaya Bawean itu unik, dan mirip dengan kebudayaan di daerah lain, seperti samman di Aceh, tapi bukan samman Aceh,” tutur Nasir. Lebih lanjut, menurut bapak yang pernah menjadi pemenang juara 1 peminntasan teater di Singapure itu, selain samman, anyaman tikar juga ada di Madura, tapi berbeda dengan yang ada di Bawean. Kekhasan itu sendiri lahir karena tidak terlepas dari asal mula orang Bawean yang mayoritas berasal dari suku yang berbeda-beda, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan dan Madura.
“Saya berharap, jangan sampai kita menjadi masyarakat yang kurang menghargai budaya kita sendiri. Salah satu contoh kasus yakni tarian reok yang sempat dipermasalahkan dengan Negara Malaysia. Selain itu, harapan saya agar budaya yang ada di Bawean di buat menarik. Menarik dalam tanda kutip ada hasilnya, ada penjenjangan kejuaraan. Jadi, intinya harus di buat menarik dan ada berharga. Kita, sebagai masyarakat Bawean harus sama-sama menjaga keberlangsungan tradisi dan kebudayaan masyarakat Bawean.”
Reportase: Basit
Laporan: Andi Setiawan

Rabu, 06 Januari 2010

“Dhungka, Tradisi Yang Terlupakan”

Oleh : Nawawi al-Juairiyah*

Di kalangan tokoh antropologi dikatakan bahwa budaya dan agama sama tuanya dengan manusia, budaya dan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia apapun itu bentuknya. Bawean pulau kecil dan terpencil dari keramaian kota besar menambah kenyamanan terhindar dari hiruk-pikuk ramainya aktifitas kota metro politan, begitu juga dengan udaranya yang segar khas pegunungan yang sejuk menambah keindahan dan kenyamanan Bawean.
Masyarakatnya yang religius turut mewarnai kehidupan di dalamnya, tidak hanya itu di dalamnya terdapat bermacam-macam keunikan budaya hasil karya dan prakarsa manusia salah satu kenunikan budaya di Bawean adalah Dkungka yaitu semacam seni musik yang dilakukan oleh para wanita (ibu-ibu) yang biasanya dilakukan setelah selesai menumbuk padi (bahasa Baweannya “noto padi”).
Lessong “bahasa bawean” yang biasa digunakan sebagai alat untuk noto (menumbuk) padi juga berfungsi sebagai alat untuk melahirkan sebuah irama. Cara memainkannya cukup unik dan butuh kekompakan untuk memainkannya. Dengan kelincahan tangan ibu-ibu memukul lessong ini kemudian melahirkan suara yang merdu dan unik yang mampu menghipnotis siapa yang mendengarnya. Biasanya Dhungka dijadikan sebagai woro-woro (pengumuman).
Namun saat ini nampaknya Dhunka kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat Bawean dan mulai dilupakan, hal ini di pengaruhi oleh masuknya budaya luar “alat yang lebih praktis dan ekonomis dalam menggiling padi menjadi beras”. Sebelum mesin padi dikenal oleh masyarakat Bawean alat alternatif yang biasa digunakan adalah lessong untuk menyulap padi menjadi beras.
Bahkan untuk saat ini lessong yang dulu dijadikan alat menumbuk padi tidak dirawat sehingga punah dimakan rayap dan bahkan dijadikan bahan bakar untuk memasak karena memang terbuat dari kayu, yang seharusnya bisa dijadikan sebagai sanggar budaya. Apa ini yang dinamakan bangsa yang tidak mengahrgai budaya? Lantas, siapa yang patut disalahkan jika budaya di negeri ini di klain oleh negara lain?
Hal ini berbeda dengan sebagian daerah-daerah lain yang ada di Nusantara yang senantiasa menjaga budaya mereka dari kepunahan. Dhunka tidak hanya dikenal oleh orang Bawean, akan tetapi di Sumatra khususnya Aceh juga mengenal dhunka meski mungkin dengan istilah yang berbeda. Bahkan di Aceh dijadikan sebagai salah satu kekayaan budaya Nasioanal khas Aceh dan menjadi kebanggaan Indonesia secara umum. Masyarakat Aceh meski mereka sudah tidak lagi menggunakan alat tradisional untuk menjadikan padi menjadi beras dengan adanya mesin padi untuk saat ini, namun hal itu tidak mengurangi eksistensi tradisi “dhunka” di Aceh.
Kita tidak tahu apakah Bawean mempunyai hubungan erat dengan Aceh. Kalau kita kembali lagi pada sejarah Bawean, disana dijelaskan bahwa masyarakat Bawean terdiri dari berbagai suku yang ada di Nusantara khususnya Kalimantan, Sumatra, Jawa dll. Mungkin dengan ini dari masing-masing mereka mencuba melestarikan kebudayaan mereka di Bawean yang lambat laun budaya mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat asli Bawean.
Namun, kesukuan mereka tidak menunjol mereka lebih dikenal dengan sebutan munorang Bawean meskipun mereka berbeda latar belakang dengan masyarakat pribumi (Bawean asli). Yang menarik dari tradisi athungka ini adalah biasa dilakukan ketika ada hajatan semacam pemberitahuan kepada masyarakat bahwa akan ada hajatan perkawinan atau hanya sebatas iseng untuk menghilangkan rasa penat ketika habis menumbuk padi.
Lessong alat untuk menumbuk padi dan sekaligus sebagai alat musik tradisional “adhungka” saat ini keberadaanya sudah menghawatirkan karena tidak adanya rasa saling untuk memiliki dan melestarikan budaya sendiri. Tidak mustahil jika lossong akan hilang dari kehidupan masyarakat Bawean yang terkikis oleh semakin majunya pemikiran masyarakat Bawean (menilai) perkembangan jaman dengan alat yang lebih praktis.
Di Jawa saya tidak tahu persis daerah mana yang pada Bulan Puasa tahun lalu pernah di liput di sebuah acara Televisi yang mirip dengan Dhungka yang ada di Bawean dan saya juga kurang tahu istilahnya mungkin apa. Namun yang jelas alat yang digunakan juga terdiri dari kayu dan gerakannyapun merip sama seperti yang dilakukan oleh Ibu-ibu Bawean ketika “adhunka”.
Namun acara itu dijadikan sebagai metode untuk membangunkan masyarakat untuk sahur, ternyata hal itu disamping sebagai cara untuk membangunkan masyarat untuk sahur juga menjadi hiburan tersendiri dan bahkan mandapat sorotan serta rasa ingin tahu dikalangan masyarakat.
Lantas kenapa masyarakat Bawean melupakan tradisi ”adhungka”? Apakah sudah tidak ada regenerasi lagi? Apakah pemuda-pemudi Bawean memang sudah mau lagi meneruskan tradisi ”adhungka” yang menajdi salah satu budaya bawean sejak dulu? Ataukah pemerintah dan para budayawan Bawean sudah tidak lagi ingin mempedulikan tradisi “adungkat” yang sudah hampir punah ini?
Dhungka sebagai salah satu budaya yang sudah terlupakan oleh masyarakat bawean harusnya bisa dilestarikan serta dapat dukungan penuh dari semua kalangan. Tapi nyatanya tradisi itu malah di biarkan mati surih bahkan sudah mendekati ke-punah-an karena tidak ada regenerasi dan peran pemerintah untuk melastarikannya.
Lantas bagai mana tradisi itu bisa di kita lestarikan lagi? Yang pertama harus ada generasi (kalangan muda) untuk melanjutkan tradisi ini hidup kembali. Yang kedua masyaraka (yang tua) harusnya memberikan motifasi pada yang muda untuk belajar menghargai budaya yang sudah sejak lama tumbuh. Yang ketiga, peran pemerintahlah yang sangat dibutuhkan. Artinya pemerintah disini memberikan wadah berupa tempat untuk latihan dan alat-alat yang di butuhkan. Serta, mengadakan festival untuk kelangsunga budaya itu sendiri. Jika tidak, jangan harapa tradisi itu bisa berkembang!!!.

Nawawi al-Juairiyah
Penulis adalah penikmat budaya asal Bawean
Mahasiwa Fakultas Usuludi UIN Sunan kalijaga

Bawean, Titik Nun Pulau Jawa

from : Majalah La Aobe
Judul Buku       : Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Islam di Pulau Bawean
Penulis              : M. Dhiyauddin Qushwandhi
Penerbit            : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Bawean, Gresik.
Cetakan           : Pertama, Maret 2008
Tebal                : xxxii + 277 halaman
Resensi Oleh    : Abd. Rahman Mawazi*
Harus diakui bahwa penelitian sejarah Jawa tidak selesai pada penelitian Danys Lombard yang terangkum dalam karya magnup opusnya, “Nusa Jawa: Silang Budaya”, yang cukup konprehensif itu. Masih banyak fragmen sejarah [lokal] Jawa yang masih belum tersentuh dan terungkap dalam buku-buku tentang Jawa dan sejarahnya. Sejarah lokal adalah narasi tak terpisahkan dari “sejarah besar”. Bahkan, seringkali sejarawan menjadikan sejarah diri (biografi, otobiografi, dan memoar) dan daerah untuk merangkai sejarah besar.
Buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar ini mengisahkan sejarah lokal pulau Bawean, yang menjadi fragmen sejarah Jawa. Bawean, pulau kecil di tengah laut Jawa, tepatnya 80 mil dari Gresik, sebagaimana diungkap dalam buku ini, mengandung muatan sejarah yang selama ini masih menjadi teka teki para peneliti sejarah dan sejarawan.
Dalam buku ini, M. Dhiyauddin Qushwandhi berani menyimpulkan bahwa, misalnya, huruf Honocoroko tercipta di Bawean. Alkisah, seorang murid Aji Soko—petualang dari India—yang bernama Dura ditinggal di Bawean dengan dilengkapi sebilah keris, sebab Aji Soko akan melanjutkan perjalanannya ke Jawa guna menundukkan raja Jawa, Ki Dewatacangkar. Ia berpesan agar keris itu tidak diserahkan kepada siapapun selain pada dirinya. Namun, Aji Soko lupa akan Dura setelah berhasil mengalahkan Ki Dewatacangkar. Ia lantas mengutus seorang murid lainnya, Sembada, untuk mengambil keris dimaksud.
Akan tetapi, Dura enggan menyerahkan keris amanat sang guru. Sedangkan Sembada terus meminta keris tersebut hingga akhirnya berakhir dengan pertumpahan darah. Aji Soko baru menyeadari akan pesannya kepada Dura. Ia pun lantas menyusul ke Bawean dan menemukan dua kuwulanya tewas. Ditulislah sebuah prasasti yang kemudian dikenal dengan Honocoroko, untuk mengenang keduanya. Prasasti itu berbunyi: Honocoroko / Dotosowolo / Podojoyonyo / Monggobothongo yang artinya Ada dua utusan / Sama-sama bertikai / Sama-sama jaya dan kuat / Sama-sama meninggal.(Bab 2)
Memang, jika berbicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada. Sejarah adalah sebuah peninggalan, bisa berupa tulisan, naskah, atau artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tanpa itu, ia hanya menjadi dongeng atau mitos adanya. Ia hanya cerita fiktif yang tidak bisa dijadikan pijakan bahwa sesuatu dikatakan sebagai kisah sejarah. Hal ini dibuktikan oleh penulis dengan menelusuri bukti-bukti sejarah di lapangan dan telaah literatur yang ketat.
Masih banyak hal lain yang ternyata diungkap dalam buku ini. Misalnya tentang Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel; Nyi Ageng Maloko, putri Sunan Ampel; dan laksamana Cheng Ho, yang makamnya terletak di Bawean. Semunya masih menjadi teka teki sejarah. Prihal Dempo—bahasa Cina yang berarti nahkoda—Cheng Ho tersebut, menurut penulis, kemungkinan memilih menetap di Bawean karena konstalasi politik Dinasti Ming sedang goncang. Sehingga, ia memimilih menetap di Bawean sampai akhir hanyatnya. Kini, makam Cheng Ho tersebut dikenal dengan Jujuk Tampo (Buyut Tampo).
Dengan demikian, kajian dalam buku ini mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Asal mula huruf Honocoroko, makam ibunda Sunan Ampel, Putri Condrowulan; makam Nyi Ageng Maloko, dan makam Cheng Ho beserta istrinya diungkap secara deskriptif, meski belum bisa disebut ‘sejarah kritis’. Dan yang tak kalah penting dari kajian buku ini adalah prihal ajaran Syeikh Siti Jenar, yang mengalami nasib teragis di Jawa, yang kemudian diteruskan oleh Sayyidah Waliyah Zainab di Bawean.
Putri pewaris Syeikh Siti Jenar
Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajarah Syeikh Siti Jenar. Sejauh ini belum banyak diungkap siapa gerangan yang menjadi penerus ajarah Syeikh Siti Jenar yang kontroversial itu; “Manunggaling Kawulo Gusti”. Beberapa buku yang telah best seller, seperti karya Munir Mulkhan (2001), Agus Suyoto, dan sebagainya, baru mengungkapkan bagian awalnya saja. Dhiyauddin, yang tak lain masih memiliki darah keturunan dari Siti Jenar, mengupas ajaran tersebut dalam bab khusus.
Sosok Waliyah Zainab ditengarai mempraktikkan ajaran Siti Jenar, sebab ia mendapat didikan langsung dari sang ayah, Sunan Duwur, dan kakeknya Sunan Sendang. Sunan Sendang adalah orang yang mengkodifikasikan ajaran Siti Jenar. Naskah itu tidak berjudul, tetapi memuat apa yang disebut Sastro Cettho Wadiningrat (Ilmu Nyata Rahasia Kehidupan), atau disebut juga Ilmu Kabegjan (Ilmu Mencapai Kebahagian Sejati) yang semakna dengan Hikmah al-Islamiyah, dalam kajian tawawuf.
Kajian tasawuf sendiri memuat akidah-syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat. Syeikh Siti Jenar mengistilahkan catur wiworo werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit). Untuk itu, manusia mesti menanamkan keempat hal pokok itu secara sempurna. Barulah ia akan mencapai aqidah (keimanan) yang sempurna, sebab keimanan itu tidaklah hanya sekedar “percaya” an sich kepada Allah, melainkan kecintaan (hubb). Bila sempurna, maka sang hamba akan merasa bersatu dengan Tuhannya. Demikianlah juga apa yang dipraktekkan oleh Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab, disamping meneruskan ajarah Siti Jenar, juga menjadi pemuka agama di Pulau Bawean. Ia meneruskan benih Islam yang telah dakwah Islam yang telah disemai oleh Putri Condrowulan. Namun, keberadaannya di Bawean tak lepas dari konstalasi politik di Jawa. Artinya, Bawean menjadi pulau tempat pengasingan, yang kelak justru islamisasinya cukup merata, khususnya di masa Umar Mas’ud, adipati utusan kerajaan Sumenep, Madura, yang datang kemudian. Sejauh ini baru Jacob Vredeberg yang mengungkap Islamisasi di Bawean dalam karyanya Bawean dan Islam (1992).
Titik pulau Jawa
Dengan demikian, sejarah Bawean adalah bagian dari narasi sejarah islamisasi tanah Jawa—untuk menyebut sejarah Jawa. Dhiyauddin mengibaratkannya sebagai titi dari huruf nun. Nun dan titiknya, dengan demikian, merupakan logos maknawi Jawa Bawean. Sebab, filosofi titik-nun ini bukanlah sesuatu yang tidak mengandung muatan historis. Pada abad ke-14, di masa kedigdayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, tanah Bawean “diinjak” oleh seorang pengelana dari Persia (Iran) yang dikenal sengan Syeikh Subakir, sebelum melanjutkan perjalannya ke Jawa.
Demikian juga di masa pelarian negeri Campa. Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel, yang menjadi bagian dari kafilah pelarian negeri Campa beserta rombongannya masih transit di Bawean. Bahkah, beliau tutup usia di sana sebelum sempat melanjutkan perjalanan ke Jawa. Maka, tidak heran bila kelak Sunan Ampel mengutus putra dan putrinya, Sunan Bonang dan Nyi Ageng Maloko, melakukan dakwah Islam di Bawean. Selain itu, Bawean juga menjadi tempat persinggahan terakhir laksamana muslim dari Cina yang cukup masyhur, Cheng Ho, yang hingga kini masih menjadi tanda tanya sejarawah. Dan masih banyak lagi!
Nah, di sinilah letak pentingnya buku ini bagi pecinta sejarah Nusantara, khusunya Jawa. Hasil kajian buku ini memang cukup fantastik. Namun demikian, tentunya penelitian lebih lanjut harus terus dilakukan guna membuktikan secara pasti dan sekaligus mengukuhkan prihal kisah-kisah yang termuat dalam buku ini. Hal ini bertujuan agar kisah sejarah tidak menjadi sekedar mitologi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
*Abd. Rahman Mawazi
Penulis keturunan Bawean yang kini menetap di Batam
dan salah satu member www.bawean.info

Cara Mengelola Konflik Secara Efektif

Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok, konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.
Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).

Akibat-akibat Konflik

Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
Akibat negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:

• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:
Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama de¬ngan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:

Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.
(Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).