IPMABAYO

Sabtu, 12 Juni 2010

Puisi Firda (Siswa Bawean)

“ C I N T A B U T A ”

Cinta itu buta
Cinta tak melihatn apa yang ia lakukan benar atau salah
Tuhan …
Inginku lari dari alunan cinta yang mesra
Yang membuat aku hanyut didalamnya
Hingga perasaan hina, gunda, gelisah, sering muncul pada diriku …
Aku takut
Aku takut
Aku takut tuhan
Hingga aku tak bisa mengontrol diriku lagi
Cinta penuh nafsu itu membuatku tersiksa
Aku benci tapi tak bisa menghindarinya
Karena sebenarnya aku lemah bagai bunga yang telah layu
Cinta telah membuatku gila dan tersiksa
Tuhan berikan aku anugerah dan petunjukmu
Hidarkan aku dari yang tercipta dari nafsu
Aku ingin cinta yang hadir
Atas dasar cintaku padamu …

* 1 (satu) Nama *

Tlah kumiliki satu nama dalam hatiku
Dan tlah kutemukan desah cinta dalam naluri jiwaku yang bergemuruh
Serta merta memanggil namamu
Sehingga ku terdampar di pelabuhan cinta dalam jiwamu
Yang pada akhirnya aku mengenalmu dalam cinta dan kerinduan
Dan hadirmu telah mengubah duniaku menjadi lebih indah dari sebelumnya
Kekosonganku menjadi lebih berfantasi karnamu
Haruskah aku katakana untukmu
Agar kau tahu
Tanpamu ku tak sanggup
Dan tanpamu ku tak berarti
Ini adalah naluri hatiku
Yang ku serahkan untukmu
Belahan jiwaku …

Medheng; Tradisi Bawean yang terabaikan

Oleh: Ainul Yakin*

Ketika penulis pulang kampung ke Bawean banyak pemuda-pemudinya sudah enggan untuk medheng (silaturrahim) walaupun ke rumah famili terdekat dan gurunya sendiri. Hari raya yang dulu dijadikan momentum saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan, sekarang sudah terganti dengan budaya baru sepeti rekreasi ke berbagai tempat wisata Bawean.

Bawean, sebagai pulau yang basis penduduknya hampir seratus persen pemeluk agama Islam, memiliki tradisi yang disebut medheng. Dilihat dari akar sejarahnya medheng merupakan tradisi Bawean yang dihasilkan dari asimilasi antara budaya Islam dengan tradisi setempat. Pada dasarnya antara medheng dengan budaya Islam (silaturrahim) di Bawean tidak bertentangan. Maka masyarakat Bawean menjadikan tradisi medheng sebagai salah satu kegiatan ritual tahuanan.
Padanan kata medheng dalam bahasa Indonesia lebih dekat pemaknaannya dengan kata silaturrahim. Walaupun kata silaturrahim dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab, tapi kata tersebut sudah di-indonesia-kan.
Tetapi arti operasionalnya antara kata medheng dan silaturrahim memiliki arti yang sedikit berbeda. Kata siaturrahim adalah kunjung-mengkunjungi antara satu dengan yang lain. Dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terikat oleh momen tertentu. Sedangkan pengertian kata medheng dalam tradisi Bawean adalah kunjung-mengkunjungi antara satu dengan yang lain. Dan biasanya medheng dilakukan selama tujuh hari setelah hari raya, baik hari raya Idul fitri maupun Idul adha. Salah satu fungsinya untuk saling maaf-memaafan dan mempererat tali kekeluargaan serta persaudaraan. Bahkan, masyarakat Bawean pada saat medheng ada yang membawa kue dan makanan khas pada pelaksanaan hari raya. Dan hampir menjadi kewajiban bagi menantu untuk medheng kepada mertuanya.
Menurut H. Munir, salah satu tokoh sesepuh Bawean mengatakan bahwa, dulu setelah pelaksanaan hari raya, masyarakat Bawean medheng ke rumah tetangga dan familinya. Mereka memulai medheng kali pertama hari raya sampai hari ke tujuh. Hari pertama dan kedua medheng ke rumah tetangga dan famili terdekat, hari ketiga dan keempat ke rumah tetangga dan famili yang jauh baik di luar desa maupun di dalamnya. Hari kelima, keenam dan ketujuh medheng ke rumah famili yang jauh, baik famili dari jalur ayah maupun dari jalur ibu, termasuk juga ke rumah tokoh masyarakat seperti kiyai, kepala desa dan guru-guru ngaji.
Naifnya, tradisi medheng di Bawean yang dulu dilakukan selama tujuh hari setelah hari raya, sekarang dilakukan paling lama tiga hari. Bahkan kebanyakan masyarakat Bawean sekarang melakukan medheng hanya satu hari saja. Mereka medheng ke rumah sebagian tetangga dan famili terdekat. Sehingga menjadi fenomena yang tak terbantahkan bagi anak muda Bawean saat ini menjadi tidak mengenali familinya.
Ketika penulis pulang kampung ke Bawean banyak pemuda-pemudinya sudah enggan untuk medheng walaupun ke rumah famili terdekat dan gurunya sendiri. Hari raya yang dulu dijadikan momentum saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan, sekarang sudah terganti dengan budaya baru sepeti rekreasi ke berbagai tempat wisata Bawean. Dan kegiatan rekreasi ini sudah menjadi tradisi masyarakat Bawean pasca pelaksanaan hari raya.
Tujuh hari setelah pelaksanaan hari raya yang dulu digunakan medheng sekarang sudah hilang sama sekali diganti dengan budaya rekreasi. Pada hari tersebut biasanya mereka berbondong-bondong pergi ke tempat wisata. Terbukti dengan banyaknya pemuda-pemudi berpasang-pasangan ke tempat rekreasi. Masyarakat Bawean yang dulu menganggap kegiatan rekreasi sesuatu yang tabu sekarang sudah menjadi maklum.
Budaya baru ini terkesan berfoya-foya dan hedonis, seakan tidak berbeda dengan budaya barat yang jauh dari nilai-nilai budaya timur (keislaman). Budaya tersebut mampu menghapus tradisi lokal yang penuh kearifan (local wisdom) yang sudah lama mengakar dan mendarah daging di tubuh masyarakat Bawean.
Medheng dalam sudut pandang
Ada dua sudut pandang yang perlu dilakukan untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi medheng. Yaitu sudut pandang agama dan sosial.
Dalam sudut pandang agama, medheng memiliki nilai ritual sangat tinggi dalam pelaksanaan ibadah. Artinya medheng tidak hanya sebatas tradisi sebagai warisan nenek moyang yang menjadi rutinitas ritual tahunan. Tapi medheng juga merupakan perintah dan ajaran agama. Menjadi barang tentu terdapat nilai pahala bagi mereka yang melaksanakannya serta dosa/siksa bagi yang meninggalkannya.
Banyak sekali nash (al-Qur’an dan Hadist) yang memerintahkan dan menganjurkan medheng serta mengancam bagi yang meninggalkannya, yakni bagi mereka yang memutus tali hubungan persaudaraan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Muhammad ayat 22 dan 23.
Artinya; Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.

Abdul Jabbar salah satu sahabat nabi menceritakan dari sahabat Anas dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut:
“ Janganlah kalian saling memutus tali silatuttahim, saling memusuhi, saling membenci dan saling mendengki. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (sesama muslim), serta tidak halal bagi orang muslim tidak akur dengan seaudaranya lebih dati tiga hari.

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa menurut sudut pandang agama tradisi medheng (silaturrahim) merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Didalamnya banyak mengendung keistimewaan seperti hadits yang mengatakan bahwa barang siapa yang menginginkan rizkinya luas, panjang umurnya maka dianjurkan untuk menjaga medheng (silaturrahim). Begitu juga sebaliknya bagi orang yang memutus medheng (silaturrahim) adalah dosa dan mendapatkan laknat dari Allah SWT.
Sedangkan dari sudut pandang sosial, tradisi medheng merupakan warisan nenek moyang masyarakat Bawean yang sarat dengan nilai kearifan yang bijaksana (local wisdom) sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi medheng di antaranya, nilai kebersamaan, kekeluargaan, kesatuan dan persatuan, solidaritas serta keagamaan. Nilai-nilai itulah seharusnya perlu dipertahankan oleh generasi anak muda Bawean dengan tetap melestarikan tradisi tersebut.
Secara sosiologis, medheng memiliki beberapa fungsi sosial. Di antaranya, pertama; sebagai alat pengendali konflik sosial. Masyarakat Bawean sebagai sebuah komunitas sosial sudah menjadi barang tentu akan adanya konlfik sosial antar individu atau antar kelompok. Maka medheng dapat dijadikan sebagai salah satu sarana/media untuk menyelesaikan konflik.
Kedua; nilai yang terkansung dalam tradisi medheng berfungsi sebagai dasar dalam melakukan tindakan sosial. Mengingat nilai-nilai yang sangat tinggi dalam tradisi medheng sebagaimana disebutkan di atas seperti kekeluargaan, kebersamaan dan seterusnya. Maka nilai-nilai tersebut seyogyanya tetap menjadi acuan dalam melakuakan tindakan sosial. Sehingga keteraturan dan keserasian sosial dalam masyarakat Bawean akan tetap terjaga.
Ketiga; medheng berfungsi sebagai alat pengawas pola tingkah laku. Dengan adanya tradisi medheng konflik sosial dalam masyarakat akan terawasi dan teratasi. Sehingga dengan tetap menjaga tradisi tersebut konflik sosial dapat diminimalisir dalam masyarakat.
Jadi, secara substansial tradisi medheng di Bawean baik dari sudut pandang agama maupun sosial memiliki nilai mulia dan bijaksana sebagai warisan nenek moyang yang patut dilestarikan. Oleh sebab itu masyarakat Bawean diharapkan mampu untuk mengembalikan tradisi medheng yang terbaikan. Akankah tradisi medheng lenyap dari bumi Bawean?.
*Mahasiswa Pasca Sarjana UNDAR Jombang dan Pemerhati Budaya Pulau.

























Nama : Ainul Yakin, S.HI.
Email : yakinainul74@yahoo.co.id
No HP : 085230753592

Surat-Surat

Nomor : 01/Sek-LA AOBE/I/2010
Lamp : -0-
Hal : Permohonan Wawancara

Kepada Yth,
Bapak Bupati Gresik
Di tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Teriring doa kami panjatkan, mudah-mudahan kita semua mendapatkan rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita bisa mengemban tugas dan melaksanakan kewajiban setiap hari. Amin

Bersamaan dengan ini, dengan diterbitkannya majalah Sinergi edisi V Februari-April 2010, kami Tim Reporter majalah LA AOBE memohon kesempatan untuk mewawancarai Bapak dengan tema “Pilkada Gresik, Upaya Menjaring Figur Peduli Bawean.”

Demikian surat permohonan wawancara ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kesediaannya kami sampaikan terimaksih.

Wassalmu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 15 Januari 2010
PENGURUS
MAJALAH LA AOBE


Abdul Khalid
Pimpinan Redaksi











Nomor : 02/Sek-LA AOBE/I/2010
Lamp : -0-
Hal : Permohonan Bantuan Dana

Kepada yang terhormat
Bapak__________________
Di tempata
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera kami Sampaikan, semoga kita semua mendapatkan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita bisa mengemban tugas dan kewajiban kita. amin

Sehubungan dengan akan terbitnya majalah LA AOBE edisi Februari-April 2010, maka kami pengurus majalah LA AOBE bermaksud memohon bantuan dana guna menutupi biaya produksi.

Demikian surat permohonan dana ini kami sampaikan dan atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 15 Januari 2010
PENGURUS
MAJALAH LA AOBE



Abdul Khalid Muhyiddin
Pemimpin Redaksi Sekretaris

Outline Liputan Majalah LA AOBE

A. LAPORAN UTAMA
• Di laporan utama ini, LA AOBE akan mengupas tentang pilkada Gresik. Sejauh mana proses pilkada ini mampu menjadi ajang demokratisasi lokal. Tentu kita berharap pilkada berjalan dengan demokratis, jujur, adil dan tanpa ada kekerasan antarpendukung di akar rumput. Untuk mendukung pemberitaan ini perlu melakukan wawancara dengan lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, juga perlu komentar dari berbagai sumber seperti LSM-LSM terkait, dan pengamat (akademisi). Akademisi ini bisa dari ilmuan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, Universitas-universitas lain yang bisa diminta kometarnya. (Catatan: ini bisa menjadi satu atau dua judul)

• Penting juga mengupas tentang Gresik secara umum. Misalnya tentang sejarah. Ada gak catatan sejarah yang bisa menunjukkan kepada public kenapa bernama Gresik? Sejak kapan Gresik menjadi daerah mendiri (tahun kelahirannya)? Siapa bupati pertama Gresik? Kupas pula tentang Anggaran Belanja Daerah (ABD) dan Anggaran Pendapatan belanja Daerah (APBD). Apa pula sumber utama penyumbang APBD Gresik? (Ini bisa jadi satu judul.

• Harapan masyarakat terhadap cabup jika terpilih menjadi bupati, kususnya bagi kemajuan Gresik dan juga Bawean. Ini bisa minta komentar beragam tokoh, mulai mahasiswa, aktivis, LSM, cendikiawan, masyarakat, Ormas (NU, Muhammadiyah), dan sebagainya. (Ini bisa jadi satu judul).

• Jika memungkinkan wawancara dengan bupati Gresik, keberhasilan-keberhasilan apa yang telah dicapai selama dua periode menjabat (sepuluh tahun jadi bupati). Dan apa pula program-program yang dicanangkan namun belum sempat terealisasi. Apa harapan beliau kepada cabup jika terpilih menjadi bupati menggantikan dirinya? Tanyakan pula kenapa selama menjadi bupati tidak ada perubahan signifikan di Bawean? Apakah selama menjabat punya konsep untuk membangun Bawean? Tanyakan pula tentang regulasi masalah transportasi laut, PLN dan jalan lingkar Bawean. (Ini bisa jadi satu judul).

• Wawancara khusus terhadap cabup-cabup yang akan maju dalam pilkada. Kupas secara tuntas visi dan misi serta profil masing-masing cabup, mulai karier pendidikan, hobi dan kesukaan, jabatan yang pernah diduduki, dan juga motto. Apa yang mendasari atau memotifasi mereka ikut mencalonkan diri menjadi cabup? Partai-partai mana yang sudah menyatakan mendukung? Yakin mereka bisa menang dan bagaimana bisa memenangkan pilkada itu? Sumber pendanaan? Program-program seperti apa yang akan dilakukan jika terpilih? Kupas juga tentang misi dan visi mereka bagi Bawean, apa yang akan dilakukan untuk Bawean jika terpilih, bagaimana mereka menyelesaikan persoalan kapal, PLN, jalan lingkar, dan juga proses pembangunan di Bawean, yang penting lagi adalah apa tanggapan mereka jika Bawean jadi Kota Madya, dan lain sebagainya. (Ini bisa dimasukkan dalam rubric “Wawancara Khusus”).

B. LAPORAN KHUSUS
• Bawean Kota Madya
1. Pandangan tokoh tentang usulan Bawean sebagai kota madya?
2. Pandangan LSM serta masyarakat?
3. Kemungkinan (peluang) Bawean jadi kota madya?
4. Syarat administratif serta perangkat yang harus dipenuhi?
5. Kesiapan SDM dan SDA?

C. SUBJEK WAWANCARA
• Wawancara Laporan Utama
1. Bupati Gresik
2. KPU
3. 3 DPR Bawean
4. Surur, Zurkani (LSM)
5. Akademisi
6. Mahasiswa
7. Masyarakat
• Wawancara Laporan Khusus (Bawean Kota Madya)
1. Fauzi Rouf
2. Syarifuddin
3. DPR Bawean
4. BDC, BPG
5. Zamaahsyari A. Ramzah
6. Mahasiswa
7. Msayarakat Bawean
• Wawancara eksklusif (profil)
1. Bambang (PDIP)
2. Sambari (Golkar)
3. Khuluq (PKB)
4. Wahyudin
• Sosok
1. Zulfan
• Bisnis dan Usaha
1. Imam Bukhori

out line Topik “Menyambut Pilkada Gresik 2010”

I. Laporan Utama
A. Sekilas tentang Kabupaten Gresik
B. Proses demokratisasi di daerah
1. Pandangan tokoh terhadap proses Pilkada Gresik 2010
2. Pandangan LSM serta masyarakat terhadapa proses Pilkada Gresik 2010
C. Calon bupati Pilkada Gresik 2010 (wawancara eksklusif)
1. Visi dan misi calon bupati Pilkada Gresik 2010?
2. Proyeksi pembangunan daerah kedepan khususnya bawean?
3. Pandangan serta tawaran solusi para calon terhadap berbagai masalah yang menimpa Bawean seperti transportasi laut, udara, listri dan pembangunan Jalan lingkar?
4. Harapan masyarakat bagi para calon

II. Laporan Khusus
A. Bawean Kota Madya
1. Pandangan tokoh tentang usulan Bawean sebagai kota madya?
2. Pandangan LSM serta masyarakat?
3. Kemungkinan (peluang) Bawean jadi kota madya?
4. Syarat administratif serta perangkat yang harus dipenuhi?
5. Kesiapan SDM dan SDA?

III. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam liputan
1. Contac person yang akan di wawancarai
2. Surat tugas
3. Alat tulis
4. Alat perekam
5. Tor wawancara
6. Biaya transportasi

Proposal Majalah La Aobe

PROPOSAL
PENERBITAN
MAJALAH LA AOBE
Office : Jl. KH. Agus Salim No. 21 Yogyakarta HP : 085257669101 (Abdul Khalid) 0819891438 (Jangki Dausat)


A. LATAR BELAKANG
Majalah LA AOBE adalah media transformasi progresif yang menyuguhkan informasi aktual dan mendalam seputar ke-Bawean-an. Majalah ini diterbitkan oleh Departemen Pers dan penerbitan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Bawean Yogyakarta (IPMABAYO).
Majalah LA AOBE edisi V ini akan memfokuskan pada isu-isu yang berkembang di Gresik menjelang momentum pilkada. Momentum pilkada ini penting untuk kita angkat bukan semata-mata karena terkait proses demokrasi dan demokratisasi daerah, tetapi menyangkut masa depan Gresik lima tahun kedepan dengan terpilihnya pemimpin baru (bupati) hasil pilkada 2010.
Karena terkait dengan Gresik sebagai pusat pemerintahan, maka secara otomatis akan menyangkut masa depan Bawean juga, sebagai sebuah daerah yang berada dalam otoritas dan regulasi pemerintahan Gresik. Siapapun yang nantinya akan terpilih akan sangat berpengaruh bagi proses pembangunan di Bawean kedepan.
Karena itu, kita berharap para calon-calon yang akan maju dalam pilkada Gresik juga harus punya kepedulian yang tinggi, tulus, sungguh-sungguh terhadap Bawean. Selama ini, bupati Gresik kurang begitu mempedulikan Bawean. Amburadulnya persoalan ticketing kapal Bawean-Gresik atau Gresik-Bawean, armada kapal yang tidak layak, serta tidak adanya kapal yang secara kontinyu beroperasi, beberapa aspek krusial yang hingga kini belum tertangani oleh pemerintah Gresik.
Belum lagi masalah penerangan (listrik) dan jalan lingkar Bawean yang sudah tidak layak pakai karena aspal jalan yang rusak, menjadi potret buram bagi sebuah proses pembangunan yang gagal. Bertahun-tahun lamanya beberapa hal di atas tak tertangani dengan semestinya, bahkan terkesan dibiarkan.
Ini semua menjadi bukti bahwa pemerintah Gresik tidak punya master plan bagi proses pembangunan di Bawean, atau lebih ekstrimnya tidak punya kepedulian sama sekali terhadap masa depan Pulau Bawean.
Saatnya pilkada Gresik yang akan datang dijadikan momentum untuk mengurai beragam persoalan di atas itu. Melalui apa? Tentu saja adanya pemimpin (bupati) yang punya kepedulian tinggi terhadap masa depan Bawean.
Sangat pantas jika pilkada Gresik dijadikan berita utama bagi LA AOBE. Dengan mengangkat isu ini kita bisa mengukur sejauh mana kepedulian mereka terhadap Bawean, apa visi dan misi mereka untuk memajukan Bawean, dan bagaimana mereka bisa menyelesaikan beragam persoalan di atas?

B. VISI DAN MISI MAJALAH
Majalah LA AOBE bervisikan terwujudnya masyarakat yang demokratis, membumikan nilai-nilai plural, kesetaraan gender, supremasi sipil, terwujudnya masyarakat yang terstruktur, menghilangkan ketidakadilan, hegemoni, monopoli dan menebarkan suasana kebersamaan dan kedamaian.
Misi yang diemban oleh Majalah LA AOBE adalah mengkampanyekan masyarakat yang demokratis, anti-diskriminasi, kekerasan, penindasan, menjunjung tinggi pluralitas, kesetaraan hak asasi manusia, menyuarakan kepentingan masyarakat dan jurnalisme perdamaian melalui penerbitan majalah.

C. STRUKTUR KEREDAKSIAN
Struktur redaksi terdiri dari Penasehat yang bertugas untuk memberikan pengarahan serta masukan dalam proses penerbitan majalah, Penanggung Jawab yakni ketua IPMABAYO, Pemimpin Umum yang mengatur secara umum kerja-kerja lembaga, Pemimpin Redaksi yang mengatur persoalan penulisan dan sekretaris yang mengatur urusan administrasi.

Struktur Keredaksian
Penasehat : Keluarga Bawean Yogyakarta (KBY)
Penanggung Jawab : Jangki Dausat (Ketua IPMABAYO)
Pemimpin Umum : Dzikrullah
Pemimpin Redaksi : Abdul Khalid
Sekretaris : Muhyiddin Yamin
Editor Ahli : Andi Setiawan
Keuangan : Latifah
Redaktur Pelaksana : Syamsul Hadi, Haris Ar Rais, Abd. Basit, Nasrul
Redaktur Senior : Zamaahsari A Ramzah, Abd. Rahman Mawazi,
Badrut Tamam, Abd Rahma, A. Sukandar, Abd. Mujib Achmad Wasil, Zurkai, Mahfut, Irham, Ida Farida,
Amin Rauf, Abd. Razak, Musafir, A. Rafiq, M. Nur Anwar,
Eko Jatmiko, Fathur Rozi, Emil Salim, Muallifa, Ratna,
Nur Rosida, Mansur, Alfida Amalina, Emmang, Tahlid
Staf Redaksi : Alfian R. A, Dewi Mabruroh, Sa’ada,
Design Grafis/Lay Outer : Buchory, Halim
Perusahaan : Saiful Imron
Pemasaran dan Sirkulasi : Moh. Hazin, Nayla, Umar Faruq
Periklanan : Moh. Azlan syah, Nasrun
Reporter Dan Fotografer : Seluruh Kru LA AOBE yang mendapat rekomendasi
Koresponden : Abd. Latif (Bawean dan Gresik), Sururi (Bawean)
Ainul Yakin (Probolinggo), Ulhaq (Jember), Nurul Irfan (Surabaya), Ghofur (Malang), Saifuddin (Jakarta)

D. RUBRIKASI
Isi majalah atau rubrikasi yang ada di dalam majalah LA AOBE adalah:
NO JENIS RUBRIKASI KETERANGAN
1 LA AOBE Utama Rubrik ini merupakan laporan utama, memuat persoalan-persoalan actual di masyarakat
2 Wawancara Eksklusif Memuat pandangan tokoh terhadap kasus atau peristiwa
3 LA AOBE Khusus Memuat persoalan penting di masyarakat
4 Surat Pembaca Faucher berupa aspirasi pembaca
5 Opini Pendapat seseorang
6 Ekonomi Memuat persoalan-persoalan ekonomi
7 Agama Memuat tentang permasalahan di bidang agama
8 Lembar Budaya Berisi mengenai seni dan budaya
9 Hukum Memuat persoalan hukum dan kriminal
10 Ghinto Liputan sosok
11 Editorial Pandangan dan sikap lembaga terhadap suatu permasalahan
12 Kolom Pendapat yang ditulis oleh orang dalam menanggapi kasus yang diangkat
13 Resensi Ulasan tentang isi buku best seller
14 Rubrik Lain Rubrik yang disesuaikan dengan perkembangan dan aspirasi pembaca
Jumlah halaman untuk majalah adalah 60 plus cover.

E. DATA PENERBITAN
Data penerbitan majalah LA AOBE sebagai berikut:
NO KETENTUAN KETERANGAN
1. Ukuran Media A4 (21 X 29 cm)
2. Kertas HVS 80 gram
3 Isi Cover luar dan dalam + 64 halaman
4 Teknik Cetak Offset
5 Jumlah Cetak 1000 Eksemplar
6 Waktu Terbit 3 bulan sekali

F. SEGMEN PEMBACA MAJALAH LA AOBE
Segmentasi pasar majalah LA AOBE terdiri dari:
NO DISTRIBUSI % (PERSEN)
1 Masyarakat yang tinggal di Bawean 25%
2 Masyarakat Bawean yang tinggal di Jawa 25%
3 Mahasiswa Bawean 10%
4 Partai politik dan Ormas 10%
5 LSM 5%
6 Pemerintah Daerah di Gresik 5%
7 Masyarakat Bawean Singapore 5%
8 Masyarakat Bawean Malaysia 5%

G. PENDANAAN
Adapun sumber dana penerbitan majalah LA AOBE didapatkan dari:
1. Kas Majalah
2. Sumbangan Donatur
3. Iklan
4. Sumbangan yang tidak mengikat.

H. PENUTUP
Demikian proposal ini dibuat dengan sebenarnya. Atas kerjasama, partisipasi dan bantuan semua pihak kami ucapkan banyak terima kasih.
Yogyakarta, 15 Januari 2010

PENGURUS MAJALAH
LA AOBE
Pemimpin Redaksi Sekretaris




Abdul Khalid Muhyiddin Yamin


Lampiran I

KEBUTUHAN PENERBITAN
MAJALAH LA AOBE EDISI V FEBRUARI-APRIL 2010

NO PENGELUARAN SATUAN JUMLAH
1 Operasionalan Penerbitan
1. Investigasi Majalah
2. Uang lelah
a) Staf Redaksi
b) Pengurus Teras
c) Responden
3. Diskusi Redaksi

50.000,-/Orang X 20
20.000,-/Orang X 15
25.000,-/Orang X 5
25.000,-/Orang X 5
500.000

Rp 1.000.000,-
Rp 300.000,-
Rp 125.000,-
Rp 125.000,-
Rp 500.000,-
2 Dokumentasi
1. Flashdisk
2. Kaset
3. Batu Baterai
100.000,-/ Biji X 1
6.500,-/ Keping X 10
20.000,-/ Pak X 2
Rp 100.000,-
Rp 65.000,-
Rp 50.000,-
3 Cetak Majalah 7.000,- X 1000 Eks Rp 7.000.000,-
Total Rp 9. 265.000,-

Jumat, 08 Januari 2010

Menemukan Kembali Budaya Bawean

Kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup suatu masyarakat atau warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, begitu menurut Clyde Kluckhohn dalam bukunya Mirror for Man. Kebudayaan juga merupakan suatu identitas yang melekat pada kehidupan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Kuncoro Ningrat kebudayaan sebagai hasil karya cipta dan karsa manusia yang diwariskan secara turun temurun sudah semestinya dipelihara agar tak lekang oleh perjalanan waktu.
Dalam konteks kebudayaan, masyarakat Bawean atau yang biasa dikenal dengan sebutan pulau putri juga memiliki ragam kebudayaan dan tradisi yang tak kalah menariknya dengan kebudayaan-kabudayaan lain yang ada di nusantara ini. Namun, kini seiring berjalannya waktu dan gencarnya gempuran budaya luar (popular culture) lambat laun ragam budaya dan tradisi masyarakat Bawean kian hilang.
Saat ini, mungkin yang terlihat eksis hanya tinggal beberapa kebudayaan saja, seperti kercengan, dan tradisi pencak silat. Tradisi atau kebudayaan lain yang tanpaknya kini sudah mulai jarang terlihat meliputi tradisi adhungka, mandiling, saman, anyaman tikar, kebiasaan berpantun, dan masih banyak lagi kebudayaan-kebudayaan lain yang kini sudah mulai menghilang.
Budayawan Bawean, Mohammad Nasir Abrari (50), punya keresahan tersendiri terkait dengan hilangnya beragam tradisi dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Bawean. Menurut bapak tiga anak itu, ada banyak hal yang menyebabkan hilangnya tradisi yang ada di Bawean, salah satunya karena tidak adanya sarana dan prasarana (sanggar seni) untuk pengembangan budaya. Bahkan, pemerintah kabupaten, kecamatan, kepala desa dan masyarakat Bawean sendiri pun seolah tidak mau tahu (apatis), atau dengan kata lain tidak merasa resah melihat kondisi yang ada saat ini.
Di kalangan masyarakat Bawean sendiri, Nasir biasanya dikenal sebagai sosok yang memiliki loyalitas tinggi terhadap upaya mengembangkan kreasi budaya Bawean yang saat ini kian memudar. Sekalipun dalam aktifitas sehari-harinya banyak disibukkan oleh pekerjaannya sebagai pegawai bea cukai di pelabuhan Gresik, namun hal itu tak sedikit pun mengurangi semangatnya untuk terus berupaya menumbuhkan kembali budaya Bawean yang hilang.
Saat ini, dia berencana untuk mendirikan sanggar seni sebagai sarana pengembangan budaya masyarakat Bawean. Sayangnya, sampai saat ini keinginan besarnya itu belum juga sempat terealisir karena terbentur oleh persoalan dana.
Menurut penuturan bapak yang memiliki kebiasaan bersiul itu, ke depannya, Bawean sangat potensial sebagai daerah wisata, apalagi dalam waktu dekat ini pembangunan bandara sudah selesai. “Lantas apa daya tawar kita terhadap para wisatawan kalau bukan ke khasan tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bawean?”, begitu menurut penuturan bapak yang suka berpenampilan sederhana.
“Jadi, maksud saya begini, misalnya nanti pesawat terbang sudah masuk ke Bawean, begitu para turis masuk ke Bawean, sangat terasa nuansa atau suasana khas Bawean. Artinya, di bandara sudah tidak terdengar lagi lagu-lagu disko, tapi yang terdengar adalah lagu-lagu Bawean, sofenir-nya juga buah tangan ala Bawean. selain itu, ada juga pameran hasil kreasi budaya Bawean seperti anyaman tikar. Alangkah eloknya lagi kalau dibuat jadwal, contoh hari ini PKK dari desa A yang mengisi acara khas budaya Bawean ketika menyambut kedatang para wisatawan, besoknya lagi desa B. Dengan demikian, bagitu mereka masuk ke Bawean nuansa khas Bawean benar-banar terasa, kayak di Bali itu lah”, kata Nasir mencontohkan.
Namun, untuk menumbuhkan dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan Bawean dibutuhkan kerja sama (kolektif), karna menurut budayawan Bawean tersebut hal itu sangat sulit bisa terwujud (terealisir) tanpa dibarengi oleh adanya kerja sama yang baik, dan dibutuhkan kerja keras. “Orang Bawean itu punya kebiasaan ingin hasil instan (sekarang juga), padahal kalau kita menekuni apa saja asal dengan tekun, maka akan menbuahkan hasil yang baik.
“Saat ini, kenapa masyarakat Bawean lebih senang nonton TV dari pada main dhungka, salah satu faktornya adalah karna tidak adanya sarana pengembangan budaya. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengangkat kembali budaya dhungka, perlu diadakan festifal dhungka secara terus menerus setiap berapa bulan sekali di tingkat pedukuhan, kemudian yang terbaik dilombakan di tingkat desa, lalu dari tingkat desa kemudian ke tingkat kecamatan. Bila agenda seperti itu terus berlangsung, maka lambat laun tradisi dhungka akan diminati lagi oleh masyarakat Bawean,” begitu Nasir mengungkapkan.”
Selain karena tidak adanya sanggar budaya sebagai sarana untuk mengembangkan budaya Bawean, hal lain yang penting untuk diperhatikan terkait dengan keberlangsungan budaya Bawean yakni soal regenerasi (penerus). Saat ini, tak banyak masyarakat Bawean khususnya kalangan muda yang mengerti tentang kebudayaan Bawean. Karena kalau hal itu terus menerus dibiarkan tanpa ada keberlangsungan proses regenerasi, maka tinggal menunggu waktu saja kebudayaan Bawean hanya akan tinggal nama dan kenangan. “Misalnya pendekar Husaini (guru pencak silat) mati, lalu siapa yang akan meneruskan kalau bukan generasi muda. Makanya, saya sekarang amat berharap sekali adanya kalangan muda penerus tradisi Bawean, seperti baca berzanji ketika Maulid Nabi, atau yang biasanya diadakan di pondok pesantren dan di langgar-langgar (surau).
Sekalipun pada dasarnya masyarakat Bawean berasal dari beberapa kepulauan yang ada di nusantara ini, dan bisa dipastikan kebudayaan yang ada di Bawean pun juga bukan murni kreasi asli Bawean, namun menurut Nasir, kebudayaan itu sudah berlangsung lama ada di Bawean, sehingga pada akhirnya proses inkulturasi tersebut melahirkan beragam budaya dan tradisi bersama yang keberadaannya mesti harus dijaga dan dikembangkan. Karena bagaimana pun itu merupakan suatu identitas kita sebagai masyarakat Bawean.
“Jadi, yang jelas budaya Bawean itu unik, dan mirip dengan kebudayaan di daerah lain, seperti samman di Aceh, tapi bukan samman Aceh,” tutur Nasir. Lebih lanjut, menurut bapak yang pernah menjadi pemenang juara 1 peminntasan teater di Singapure itu, selain samman, anyaman tikar juga ada di Madura, tapi berbeda dengan yang ada di Bawean. Kekhasan itu sendiri lahir karena tidak terlepas dari asal mula orang Bawean yang mayoritas berasal dari suku yang berbeda-beda, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan dan Madura.
“Saya berharap, jangan sampai kita menjadi masyarakat yang kurang menghargai budaya kita sendiri. Salah satu contoh kasus yakni tarian reok yang sempat dipermasalahkan dengan Negara Malaysia. Selain itu, harapan saya agar budaya yang ada di Bawean di buat menarik. Menarik dalam tanda kutip ada hasilnya, ada penjenjangan kejuaraan. Jadi, intinya harus di buat menarik dan ada berharga. Kita, sebagai masyarakat Bawean harus sama-sama menjaga keberlangsungan tradisi dan kebudayaan masyarakat Bawean.”
Reportase: Basit
Laporan: Andi Setiawan

Rabu, 06 Januari 2010

“Dhungka, Tradisi Yang Terlupakan”

Oleh : Nawawi al-Juairiyah*

Di kalangan tokoh antropologi dikatakan bahwa budaya dan agama sama tuanya dengan manusia, budaya dan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia apapun itu bentuknya. Bawean pulau kecil dan terpencil dari keramaian kota besar menambah kenyamanan terhindar dari hiruk-pikuk ramainya aktifitas kota metro politan, begitu juga dengan udaranya yang segar khas pegunungan yang sejuk menambah keindahan dan kenyamanan Bawean.
Masyarakatnya yang religius turut mewarnai kehidupan di dalamnya, tidak hanya itu di dalamnya terdapat bermacam-macam keunikan budaya hasil karya dan prakarsa manusia salah satu kenunikan budaya di Bawean adalah Dkungka yaitu semacam seni musik yang dilakukan oleh para wanita (ibu-ibu) yang biasanya dilakukan setelah selesai menumbuk padi (bahasa Baweannya “noto padi”).
Lessong “bahasa bawean” yang biasa digunakan sebagai alat untuk noto (menumbuk) padi juga berfungsi sebagai alat untuk melahirkan sebuah irama. Cara memainkannya cukup unik dan butuh kekompakan untuk memainkannya. Dengan kelincahan tangan ibu-ibu memukul lessong ini kemudian melahirkan suara yang merdu dan unik yang mampu menghipnotis siapa yang mendengarnya. Biasanya Dhungka dijadikan sebagai woro-woro (pengumuman).
Namun saat ini nampaknya Dhunka kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat Bawean dan mulai dilupakan, hal ini di pengaruhi oleh masuknya budaya luar “alat yang lebih praktis dan ekonomis dalam menggiling padi menjadi beras”. Sebelum mesin padi dikenal oleh masyarakat Bawean alat alternatif yang biasa digunakan adalah lessong untuk menyulap padi menjadi beras.
Bahkan untuk saat ini lessong yang dulu dijadikan alat menumbuk padi tidak dirawat sehingga punah dimakan rayap dan bahkan dijadikan bahan bakar untuk memasak karena memang terbuat dari kayu, yang seharusnya bisa dijadikan sebagai sanggar budaya. Apa ini yang dinamakan bangsa yang tidak mengahrgai budaya? Lantas, siapa yang patut disalahkan jika budaya di negeri ini di klain oleh negara lain?
Hal ini berbeda dengan sebagian daerah-daerah lain yang ada di Nusantara yang senantiasa menjaga budaya mereka dari kepunahan. Dhunka tidak hanya dikenal oleh orang Bawean, akan tetapi di Sumatra khususnya Aceh juga mengenal dhunka meski mungkin dengan istilah yang berbeda. Bahkan di Aceh dijadikan sebagai salah satu kekayaan budaya Nasioanal khas Aceh dan menjadi kebanggaan Indonesia secara umum. Masyarakat Aceh meski mereka sudah tidak lagi menggunakan alat tradisional untuk menjadikan padi menjadi beras dengan adanya mesin padi untuk saat ini, namun hal itu tidak mengurangi eksistensi tradisi “dhunka” di Aceh.
Kita tidak tahu apakah Bawean mempunyai hubungan erat dengan Aceh. Kalau kita kembali lagi pada sejarah Bawean, disana dijelaskan bahwa masyarakat Bawean terdiri dari berbagai suku yang ada di Nusantara khususnya Kalimantan, Sumatra, Jawa dll. Mungkin dengan ini dari masing-masing mereka mencuba melestarikan kebudayaan mereka di Bawean yang lambat laun budaya mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat asli Bawean.
Namun, kesukuan mereka tidak menunjol mereka lebih dikenal dengan sebutan munorang Bawean meskipun mereka berbeda latar belakang dengan masyarakat pribumi (Bawean asli). Yang menarik dari tradisi athungka ini adalah biasa dilakukan ketika ada hajatan semacam pemberitahuan kepada masyarakat bahwa akan ada hajatan perkawinan atau hanya sebatas iseng untuk menghilangkan rasa penat ketika habis menumbuk padi.
Lessong alat untuk menumbuk padi dan sekaligus sebagai alat musik tradisional “adhungka” saat ini keberadaanya sudah menghawatirkan karena tidak adanya rasa saling untuk memiliki dan melestarikan budaya sendiri. Tidak mustahil jika lossong akan hilang dari kehidupan masyarakat Bawean yang terkikis oleh semakin majunya pemikiran masyarakat Bawean (menilai) perkembangan jaman dengan alat yang lebih praktis.
Di Jawa saya tidak tahu persis daerah mana yang pada Bulan Puasa tahun lalu pernah di liput di sebuah acara Televisi yang mirip dengan Dhungka yang ada di Bawean dan saya juga kurang tahu istilahnya mungkin apa. Namun yang jelas alat yang digunakan juga terdiri dari kayu dan gerakannyapun merip sama seperti yang dilakukan oleh Ibu-ibu Bawean ketika “adhunka”.
Namun acara itu dijadikan sebagai metode untuk membangunkan masyarakat untuk sahur, ternyata hal itu disamping sebagai cara untuk membangunkan masyarat untuk sahur juga menjadi hiburan tersendiri dan bahkan mandapat sorotan serta rasa ingin tahu dikalangan masyarakat.
Lantas kenapa masyarakat Bawean melupakan tradisi ”adhungka”? Apakah sudah tidak ada regenerasi lagi? Apakah pemuda-pemudi Bawean memang sudah mau lagi meneruskan tradisi ”adhungka” yang menajdi salah satu budaya bawean sejak dulu? Ataukah pemerintah dan para budayawan Bawean sudah tidak lagi ingin mempedulikan tradisi “adungkat” yang sudah hampir punah ini?
Dhungka sebagai salah satu budaya yang sudah terlupakan oleh masyarakat bawean harusnya bisa dilestarikan serta dapat dukungan penuh dari semua kalangan. Tapi nyatanya tradisi itu malah di biarkan mati surih bahkan sudah mendekati ke-punah-an karena tidak ada regenerasi dan peran pemerintah untuk melastarikannya.
Lantas bagai mana tradisi itu bisa di kita lestarikan lagi? Yang pertama harus ada generasi (kalangan muda) untuk melanjutkan tradisi ini hidup kembali. Yang kedua masyaraka (yang tua) harusnya memberikan motifasi pada yang muda untuk belajar menghargai budaya yang sudah sejak lama tumbuh. Yang ketiga, peran pemerintahlah yang sangat dibutuhkan. Artinya pemerintah disini memberikan wadah berupa tempat untuk latihan dan alat-alat yang di butuhkan. Serta, mengadakan festival untuk kelangsunga budaya itu sendiri. Jika tidak, jangan harapa tradisi itu bisa berkembang!!!.

Nawawi al-Juairiyah
Penulis adalah penikmat budaya asal Bawean
Mahasiwa Fakultas Usuludi UIN Sunan kalijaga

Bawean, Titik Nun Pulau Jawa

from : Majalah La Aobe
Judul Buku       : Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Islam di Pulau Bawean
Penulis              : M. Dhiyauddin Qushwandhi
Penerbit            : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Bawean, Gresik.
Cetakan           : Pertama, Maret 2008
Tebal                : xxxii + 277 halaman
Resensi Oleh    : Abd. Rahman Mawazi*
Harus diakui bahwa penelitian sejarah Jawa tidak selesai pada penelitian Danys Lombard yang terangkum dalam karya magnup opusnya, “Nusa Jawa: Silang Budaya”, yang cukup konprehensif itu. Masih banyak fragmen sejarah [lokal] Jawa yang masih belum tersentuh dan terungkap dalam buku-buku tentang Jawa dan sejarahnya. Sejarah lokal adalah narasi tak terpisahkan dari “sejarah besar”. Bahkan, seringkali sejarawan menjadikan sejarah diri (biografi, otobiografi, dan memoar) dan daerah untuk merangkai sejarah besar.
Buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar ini mengisahkan sejarah lokal pulau Bawean, yang menjadi fragmen sejarah Jawa. Bawean, pulau kecil di tengah laut Jawa, tepatnya 80 mil dari Gresik, sebagaimana diungkap dalam buku ini, mengandung muatan sejarah yang selama ini masih menjadi teka teki para peneliti sejarah dan sejarawan.
Dalam buku ini, M. Dhiyauddin Qushwandhi berani menyimpulkan bahwa, misalnya, huruf Honocoroko tercipta di Bawean. Alkisah, seorang murid Aji Soko—petualang dari India—yang bernama Dura ditinggal di Bawean dengan dilengkapi sebilah keris, sebab Aji Soko akan melanjutkan perjalanannya ke Jawa guna menundukkan raja Jawa, Ki Dewatacangkar. Ia berpesan agar keris itu tidak diserahkan kepada siapapun selain pada dirinya. Namun, Aji Soko lupa akan Dura setelah berhasil mengalahkan Ki Dewatacangkar. Ia lantas mengutus seorang murid lainnya, Sembada, untuk mengambil keris dimaksud.
Akan tetapi, Dura enggan menyerahkan keris amanat sang guru. Sedangkan Sembada terus meminta keris tersebut hingga akhirnya berakhir dengan pertumpahan darah. Aji Soko baru menyeadari akan pesannya kepada Dura. Ia pun lantas menyusul ke Bawean dan menemukan dua kuwulanya tewas. Ditulislah sebuah prasasti yang kemudian dikenal dengan Honocoroko, untuk mengenang keduanya. Prasasti itu berbunyi: Honocoroko / Dotosowolo / Podojoyonyo / Monggobothongo yang artinya Ada dua utusan / Sama-sama bertikai / Sama-sama jaya dan kuat / Sama-sama meninggal.(Bab 2)
Memang, jika berbicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada. Sejarah adalah sebuah peninggalan, bisa berupa tulisan, naskah, atau artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tanpa itu, ia hanya menjadi dongeng atau mitos adanya. Ia hanya cerita fiktif yang tidak bisa dijadikan pijakan bahwa sesuatu dikatakan sebagai kisah sejarah. Hal ini dibuktikan oleh penulis dengan menelusuri bukti-bukti sejarah di lapangan dan telaah literatur yang ketat.
Masih banyak hal lain yang ternyata diungkap dalam buku ini. Misalnya tentang Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel; Nyi Ageng Maloko, putri Sunan Ampel; dan laksamana Cheng Ho, yang makamnya terletak di Bawean. Semunya masih menjadi teka teki sejarah. Prihal Dempo—bahasa Cina yang berarti nahkoda—Cheng Ho tersebut, menurut penulis, kemungkinan memilih menetap di Bawean karena konstalasi politik Dinasti Ming sedang goncang. Sehingga, ia memimilih menetap di Bawean sampai akhir hanyatnya. Kini, makam Cheng Ho tersebut dikenal dengan Jujuk Tampo (Buyut Tampo).
Dengan demikian, kajian dalam buku ini mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Asal mula huruf Honocoroko, makam ibunda Sunan Ampel, Putri Condrowulan; makam Nyi Ageng Maloko, dan makam Cheng Ho beserta istrinya diungkap secara deskriptif, meski belum bisa disebut ‘sejarah kritis’. Dan yang tak kalah penting dari kajian buku ini adalah prihal ajaran Syeikh Siti Jenar, yang mengalami nasib teragis di Jawa, yang kemudian diteruskan oleh Sayyidah Waliyah Zainab di Bawean.
Putri pewaris Syeikh Siti Jenar
Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajarah Syeikh Siti Jenar. Sejauh ini belum banyak diungkap siapa gerangan yang menjadi penerus ajarah Syeikh Siti Jenar yang kontroversial itu; “Manunggaling Kawulo Gusti”. Beberapa buku yang telah best seller, seperti karya Munir Mulkhan (2001), Agus Suyoto, dan sebagainya, baru mengungkapkan bagian awalnya saja. Dhiyauddin, yang tak lain masih memiliki darah keturunan dari Siti Jenar, mengupas ajaran tersebut dalam bab khusus.
Sosok Waliyah Zainab ditengarai mempraktikkan ajaran Siti Jenar, sebab ia mendapat didikan langsung dari sang ayah, Sunan Duwur, dan kakeknya Sunan Sendang. Sunan Sendang adalah orang yang mengkodifikasikan ajaran Siti Jenar. Naskah itu tidak berjudul, tetapi memuat apa yang disebut Sastro Cettho Wadiningrat (Ilmu Nyata Rahasia Kehidupan), atau disebut juga Ilmu Kabegjan (Ilmu Mencapai Kebahagian Sejati) yang semakna dengan Hikmah al-Islamiyah, dalam kajian tawawuf.
Kajian tasawuf sendiri memuat akidah-syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat. Syeikh Siti Jenar mengistilahkan catur wiworo werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit). Untuk itu, manusia mesti menanamkan keempat hal pokok itu secara sempurna. Barulah ia akan mencapai aqidah (keimanan) yang sempurna, sebab keimanan itu tidaklah hanya sekedar “percaya” an sich kepada Allah, melainkan kecintaan (hubb). Bila sempurna, maka sang hamba akan merasa bersatu dengan Tuhannya. Demikianlah juga apa yang dipraktekkan oleh Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab, disamping meneruskan ajarah Siti Jenar, juga menjadi pemuka agama di Pulau Bawean. Ia meneruskan benih Islam yang telah dakwah Islam yang telah disemai oleh Putri Condrowulan. Namun, keberadaannya di Bawean tak lepas dari konstalasi politik di Jawa. Artinya, Bawean menjadi pulau tempat pengasingan, yang kelak justru islamisasinya cukup merata, khususnya di masa Umar Mas’ud, adipati utusan kerajaan Sumenep, Madura, yang datang kemudian. Sejauh ini baru Jacob Vredeberg yang mengungkap Islamisasi di Bawean dalam karyanya Bawean dan Islam (1992).
Titik pulau Jawa
Dengan demikian, sejarah Bawean adalah bagian dari narasi sejarah islamisasi tanah Jawa—untuk menyebut sejarah Jawa. Dhiyauddin mengibaratkannya sebagai titi dari huruf nun. Nun dan titiknya, dengan demikian, merupakan logos maknawi Jawa Bawean. Sebab, filosofi titik-nun ini bukanlah sesuatu yang tidak mengandung muatan historis. Pada abad ke-14, di masa kedigdayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, tanah Bawean “diinjak” oleh seorang pengelana dari Persia (Iran) yang dikenal sengan Syeikh Subakir, sebelum melanjutkan perjalannya ke Jawa.
Demikian juga di masa pelarian negeri Campa. Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel, yang menjadi bagian dari kafilah pelarian negeri Campa beserta rombongannya masih transit di Bawean. Bahkah, beliau tutup usia di sana sebelum sempat melanjutkan perjalanan ke Jawa. Maka, tidak heran bila kelak Sunan Ampel mengutus putra dan putrinya, Sunan Bonang dan Nyi Ageng Maloko, melakukan dakwah Islam di Bawean. Selain itu, Bawean juga menjadi tempat persinggahan terakhir laksamana muslim dari Cina yang cukup masyhur, Cheng Ho, yang hingga kini masih menjadi tanda tanya sejarawah. Dan masih banyak lagi!
Nah, di sinilah letak pentingnya buku ini bagi pecinta sejarah Nusantara, khusunya Jawa. Hasil kajian buku ini memang cukup fantastik. Namun demikian, tentunya penelitian lebih lanjut harus terus dilakukan guna membuktikan secara pasti dan sekaligus mengukuhkan prihal kisah-kisah yang termuat dalam buku ini. Hal ini bertujuan agar kisah sejarah tidak menjadi sekedar mitologi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
*Abd. Rahman Mawazi
Penulis keturunan Bawean yang kini menetap di Batam
dan salah satu member www.bawean.info

Cara Mengelola Konflik Secara Efektif

Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok, konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.
Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).

Akibat-akibat Konflik

Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
Akibat negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:

• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:
Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama de¬ngan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:

Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.
(Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).