IPMABAYO

Rabu, 07 Oktober 2009

AYO>........................

Hai......para Mahasiswa-Mahasiswa Bawean.....Bangunlah.....mari kita Tegakkan Keadilan kebijaksanaan di pulau bawean yang indah itu, jangan biarkan tangan kotor menjamahnya. ayo...sekarang bawean ada di tangan kita semua..kepalkan tangan dan maju ke muka...

Nonkrong untuk revolusi.....



jangan biarkan kita pecah belah hanya karena waktu yang memisahkan. dan jangan kita hidup hanya untuk kepentingan pribadi saja akan tetapi marilah kita bergerak dan hidup untuk kepentingan bersama. revolusi takkan pernah berakhir...begitulah kata almarhum Soekarno. untuk berevolusi butuh sebuah misi. diantranya adalah dengan berdiskusi di warung kopi. berdiskusi atupun nongkrong di warung kopi adalah suatu tradisi yang harus direalisasikan oleh mahasiswa bawean ataupun rakyat bawean itu sendiri untuk membicarakan kemajuan pulau titik nun dari pulau jawa ini. dari situlah kita rekontruksi apa yang dicita-citakan boyan (kata untuk orang bawean). dan mendekontruksi untuk kebijakan-kebijakan yang diputusklan pemerintah yang dianggap kurang bijak. tradisi ini sudah kami lakukan oleh IPMABAYO (Ikatan pelajar dan Mahasiswa Bawean Yogyakarta). hal itupun juga diharapkan terjadi dibeberapa daerah kekuasaan Mahasiswa Bawean lainnya. semuanya hanya untuk BAWEAN......memang kekompakan adalah segalanya......... tapi mahasiswa juga butuh dukungan dari warga bawean. dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di bawean demi kemajuan bawean dan bersuara untuk melawan keputusan pemerintah yang kurang bijak bagi rakyat bawean. bersatu kita teguh...bercerai kita runtuh..dan selamatkan indonesia dari kekurangan kopi.

Mahasiswa dan Jargon “Agent of Change“

Ketika Soekarno muda melanjutkan studinya di THS (Technische Hooge School), Bandung, dan tinggal di sebuah rumah kost yang tak lain adalah milik Inggit Garnasih, tradisi diskusi yang merupakan medium pematang intelektualitas mungkin sebelumnya kurang begitu hidup. Sebagaimana diakui sendiri oleh Inggit --perempuan yang kelak jadi istri Soekarno— bahwa kedatangan Soekarno telah membuat suasana kost lebih kompetitif seiring dengan topik-topik yang diangkat dalam diskusi tersebut menyangkut masalah-masalah kebangsaan.

Tradisi intelektual sebagaimana yang dilakukan oleh Soekarno itu merupakan sebentuk kesadaran kebangsaan yang salah satunya adalah untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebagai mahasiswa dengan gelar “Agent of Change”, tak mungkin Soekarno tinggal diam di tengah situasi yang amat mencekam. Dengan diadakannya diskusi sebagai medium tukar gagasan, diharap semangat kebangsaan semakin berkobar dan perlahan namun pasti, Belanda menjadi tidak “kerasan” karena pahlawan-pahlawan baru mulai bermunculan.

Kini, zaman keemasan Soekarno dan kawan-kawan seperjuangannya telah lama berakhir dan hanya meninggalkan jejak sejarah. Generasi mahasiswa saat ini terobsesi untuk meneladani spirit perlawanan para founding father yang dengan nyata telah berhasil menegakkan kemerdekaan 63 tahun yang silam. Tradisi diskusi saat ini bukan hal baru di lingkungan kampus. Hampir seluruh mahasiswa di nusantara rela meluangkan waktunya untuk menghadiri acara-acara diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas, di organisasi-organisasi ekstra maupun intra dengan beragam topik, muali dari topik keagamaan, sosial-politik, ekonomi, sastra-budaya dan lain sebagainya. Tentu dari aspek fasilitas hingga keamanannya lebih terjamin dibanding dengan masa Soekarno yang terus mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari pihak penjajah.

Namun demikian, tetap ada sesuatu yang ganjil dengan generasi mahasiswa saat ini. Gelar “Agent of Change” seakan menjadi jargon yang tak mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Tradisi diskusi, dialog atau apa pun yang kini semarak berlangsung hanyalah sebentuk seremonial-formalistik yang sama sekali tidak didasari oleh spirit kebangsaan sebagaimana era Soekarno dulu. Apa yang kemudian kita banggakan dengan gelar “Agent of Change” jika dalam konteks realitas praksisnya tak ada terobosan-terobosan signifikan. Bagaimana mungkin perubahan sosial dapat terealisasi kalau problem yang dihadapi bangsa saat ini tak lebih hanyalah menjadi “topik” belaka dari sekian diskusi yang diselenggarakan.

Inilah realitas paradoksal yang terjadi pada generasi mahasiswa saat ini. Spirit perlawanan yang digemuruhkan oleh pejuang-pejuang bangsa beberapa tahun yang lalu tak mampu dijadikan sebagai inspirasi untuk melakukan hal yang serupa – tentunya dalam bentuk yang berbeda.

Lunturnya spirit kebangsaan, dengan demikian, sejatinya merupakan “bencana” terbesar yang tidak disadari. Itulah kenapa kemudian banyak yang mengatakan bahwa bangsa ini terancam akan kehilangan generasi potensialnya yang tak lain adalah mahasisawa itu sendiri. Indikasi semacam ini sudah jelas-jelas terbentang di hadapan kita. Salah satunya adalah keberadaan kampus yang terkesan “elitis” sehingga gagal mencetak kader-kader bangsa yang brilian dan progresif serta mampu melakukan perubahan di lingkungan masyarakatnya.

Kenyataan ini sebenarnya sangat kontradiktif dengan progresifitas mahasiswa generasi Soekarno yang kelak betul-betul mampu mewujudkan perubahan sosial. Hal seperti itu memang wajar mengingat kecenderungan mahasiswa saat ini lebih (memilih) hidup konsumtif, hedonis, pragmatis, tidak kreatif – suatu pola hidup yang tak tampak pada era Soekarno. Pola hidup semacam itu rupanya sudah menjadi orientasi hidup (life oriented), bukan justru diperangi dengan dalih bahwa gejala inilah yang juga turut andil membuat jurang kemiskinan semakin menganga.

Kita harus menyadari bahwa krisis multidimensional yang tak kunjung usai ini bukanlah semacam tontonan mengasyikkan. Sehingga kita merasa enjoy berdiskusi tanpa menyadari ada tugas yang belum selesai dilaksanankan. Pada tataran inilah kita harus mampu berbuat sesuatu, karena “Agent of Change” sejatinya adalah sebentuk tanggung jawab sosial di mana perjuangan dan pengorbanan adalah taruhannya.

Tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 tidak bisa dijadikan referensi untuk mengukur tingkat keberhasilan generasi mahasiswa pascagenerasi Soekarno, Mohamad Hatta, Sjahrir dan yang lainnya. Banyak hal yang perlu dibenahi menyangkut perjuangan generasi mahasiswa saat ini. Salah satunya adalah bagaimana menerjemahkan kembali gelar “Agent of Change” yang disandangnya. Sebab ia bukanlah sekedar nama, tetapi tugas atau tanggung jawab sosial yang mempunyai ruh.

Sebagai agen perubahan, tentu perjuangan mahasiswa dari generasi ke generasi atau dari masa ke masa tidaklah sama. Tugas dan tanggung jawab generasi mahasiswa saat ini sejatinya lebih berat dibanding pada masa orde-orde sebelumnya. Karena itu, fenomena kebangsaan yang terbentang luas di hadapan kita saat ini, seperti kemiskinan yang terus mengalami penigkatan, misalnya, harus menjadi agenda prioritas. Sebab jika tidak, lalu apa kemudian makna dari “Agent of Change” yang selalu dibangga-banggakan?

Peran mahasiswa jelas sangat vital berhubung kondisi bangsa Indonesia saat ini belum beranjak dari ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan. Tentu harapan yang selalu dinanti-nanti oleh seluruh masyarakat di Tanah Air tak lain adalah peran atau kontribusi signifikan; bagaimana mahasiswa mampu membawa masyarakat keluar dari situasi yang pengap menuju perubahan yang dinamis.

“Bila kita ingin menjadi suatu bangsa yang mulia dan luhur, menjadi bangsa yang terindah, bila kita ingin menjadi bangsa yang berkedudukan sama dengan bangsa yang sudah sederajat, seharusnyalah kita dengan gembira, ikhlas hati, dan bersuka cita, berani memikul beban yang maha berat.” Demikianlah pesan Dr. Soetomo.
Inilah salah satu catatan penting bagi generasi mahasiswa saat ini dan yang akan datang agar senantiasa tidak larut dalam euforia hedonisme-konsumtifistik yang jelas-jelas menyuguhkan kehidupan pragmatis.